Rabu, 27 April 2011

UU anti monopoli dan pengaruh terhadap bisnis usaha kecil & menengah

UU anti monopoli dan pengaruh terhadap bisnis usaha kecil & menengah

Dalam usia empat tahun berlakunya UU, Antimonopoli tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ingin mendapatkan masukan dari stakeholdernya, seperti dari pelaku usaha, ahli hukum persaingan, praktisi hukum, pemerintah, DPR dan lain-lain. Sebagai pelaku usaha saya diminta juga memberikan suatu tinjauan terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut. Untuk itu saya memberi judul makalah saya “Peranan UU No. 5/1999 Dalam Dunia Bisnis di Indonesia”. Dalam paper ini akan ditinjau dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis Indonesia.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

Untuk mengetahui dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis, maka perlulah dilihat tujuan dari UU Antimonopoli. Berhasil tidaknya pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut dapat diukur, jika tujuan UU Antimonopoli tersebut dapat dicapai. Dari kacamata pelaku usaha tujuan UU Antimonopoli yang ditetapkan di dalam pasal 3 tersebut adalah menjadi harapan para pelaku usaha, yaitu

1. terwujudnya iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha, bagi pelaku usaha besar, menengah dan pelaku usaha kecil
2. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat;
3. terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha; dan yang terakhir sebagai akibat dari tiga tujuan sebelumnya adalah
4. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Dari keempat tujuan tersebut dapat dirumuskan secara sederhana menjadi tiga tujuan yang pertama memberi kesempatan yang sama bagi setiap orang/pelaku usaha untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, yang kedua menciptakan (terselenggararanya) persaingan usaha yang sehat, dan yang ketiga meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Pertanyaannya adalah apakah tujuan tersebut telah dapat dicapai setelah UU Antimonopoli diberlakukan? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli mulai tgl. 5 Maret 2000 ada satu perubahan (dampak) mendasar dalam sistem perekonomian Indonesia, yaitu sistem ekonomi Indonesia menganut sistem ekonomi pasar. Konsekuensi (manfaat) diberlakukannya UU Antimonopoli pasar menjadi terbuka, misalnya sejak tahun 1999 pada sektor penerbangan perusahaan swasta boleh masuk ke sektor ini. Artinya, pelaku usaha disektor ini semakin bertambah. Sejak sector penerbangan dibuka bagi swasta terdapat 16 airline yang mendapat ijin. Dengan demikian semakin banyak pilihan bagi konsumen untuk memilih airline yang disukainya. Konsumen biasanya akan memilih harga yang murah dan pelayanan jasa yang lebih baik. Dan pada tahun 2001 KPPU menyampaikan saran dan pertimbangannya kepada Pemerintah untuk mencabut wewenang INACA yang menetapkan harga batas bawah dan atas penerbangan. Saran dan pertimbangan tersebut diterima oleh pemerintah. Akibatnya terjadi persaingan harga tiket airline. Pada tahun 1998 misalnya harga tiket Jakarta – Medan pp, mencapai Rp. 2 juta lebih. Sekarang dengan uang kurang dari Rp. 500.000,- seseorang dapat naik pesawat dari Jakarta ke Medan, demikian juga dari Jakarta ke Surabaya dan dari Jakarta ke Batam seseorang dapat naik pesawat terbang dengan uang kurang dari Rp. 300.000,-. Hal ini tentu menguntungkan konsumen.

Dari contoh diatas menunjukkan, bahwa UU Antimonopoli memberikan kebebasan bagi pelaku usaha menjalankan usahanya asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Dengan demikian UU Antimonopoli menjadi salah satu sarana dan pedoman bagi pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usahanya secara fair. Di negara- negara yang belum lama mempunyai UU Antimonopoli, seperti Indonesia penerapan ketentuan UU Antimonopoli tidaklah hal yang mudah. Tidak mudah, karena disiplin ilmu hukum persaingan adalah hal yang baru, bagi para akademisi, praktisi hukum, pengadilan, KPPU dan bagi pelaku usaha. Pada usianya empat tahun, semua pihak harus saling asah untuk menemukan pemahaman dasar-dasar persaingan usaha secara benar, khususnya bagi KPPU sebagai pelaksana tingkat pertama ketentuan UU Antimonopoli. Dalam kurun waktu empat tahun tersebut KPPU telah memutuskan 14 kasus. Ini merupakan suatu prestasi.

Kebijakan Pemerintah langgar ketentuan UU Antimonopoli
Selain pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli, kenyataannya pemerintah juga melanggar ketentuan UU Antimonopoli melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkannya yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkautan. Misalnya, pemerintah dalam hal ini Menperindag mengeluarkan SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula, yang menunjuk beberapa importir gula, dan pada tgl. 17 Februari 2004 Menperindag mengeluarkan Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau.
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Antimonopoli mempunyai dampak positif bagi dunia bisnis di Indonesia, yaitu terbukanya pasar bagi setiap pelaku usaha dan terjadi persaingan yang mendorong pelaku melakukan efisiensi dan inovasi. Namun demikian di dalam pelaksanaannya masih terjadi pelanggaran terhadap UU Antimonopoli tersebut, baik disengaja maupun yang tidak disengaja oleh pelaku usaha dan pemerintah dalam menerbitkan kebijakan ekonominya. Dan KPPU juga dalam menerapkan UU Antimonopoli tersebut masih mengalami kelemahan disana-sini, seperti dalam putusan Indomaret. Nah, untuk dapat lebih mudah memahami ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut, KPPU harus menerbitkan guideline-guideline sebagai pedoman bagi pelaku usaha dalam menjalan kegiatan usahanya. Hal ini akan mengurangi
penafsiran yang berbeda-beda terhadap ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli.

Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 dan untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut, Pemerintah Indonesia meminta bantuan keuangan kepada IMF (International Monetery Fund). IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan sebanyak US 43 Miliar dengan syarat, Indonesia melaksanakan reformasi sistem ekonomi dan hukum ekonomi melalui Undang-Undang Anti Monopoli. Maka pada tanggal 5 Maret 1999 Presiden mengesahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (2) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; (3) Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; (4) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Masalah yang dikaji adalah: (1) Bagaimanakah pendekatan per se illegal dan rule of reason dalam penerapan Undang-Undang Anti Monopoli; (2) Kegiatan-kegiatan apa Baja yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan UU No.5 Tahun 1999; (3) Bagaimanakah keputusan KPPU dalam kasus Perum Peruri dan PT. Pura Nusapersada. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Dari hasil penelitian disimpulkan: (1) Pendekatan per se illegal adalah suatu tindakan dinyatakan melanggar'hukum tanpa perlu pembuktian apakah tindakan tersebut mempunyai dampak negatif terhadap persaingan atau tidak sedangkan pendekatan rule of reason adalah suatu tindakan, baru dapat dinyatakan melanggar hukum apabila tindakan tersebut dapat dibuktikan,-mempunyai dampak negatif terhadap persaingan; (2) Kegiatan-kegiatan yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position), kartel (cartel) dan hambatan masuk (barrier to entry); (3) Keputusan KKPU adalah Perum Peruri dan PT. Pura Nusapersada terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf b UU No.5 Tahun 1999